- Back to Home »
- Etika Kepemimpinan
Posted by : Unknown
Minggu, 08 Juni 2014
Berangkat dari kasus Bupati Garut Aceng Fikri yang tentu saja
masih segar dalam ingatan kita sekalian, bahwa untuk pertama kalinya di
Indonesia kasus pemakzulan (impeachment) pada pimpina eksekutif daerah terjadi
bukan karena adanya tuntutan dalam permasalahan kebijakan ekonomi atau politik,
tetapi lebih karena dorongan publik yang begitu besar terhadap permasalahan
etika, dan moralitas Aceng Fikri sebagai pribadi yang juga berimpitan dengan
posisinya sebagai pejabat publik.
Pada kasus ini Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dari DPRD
Garut dengan argumen bahwa posisi sang Aceng Fikri sebagai kepala daerah tak
dapat dipisahkan dalam kapasitasnya sebagai pribadi, artinya jabatan Bupati
yang diemban oleh Aceng melekat pada tindak tanduk yang dilakukannya baik itu
atas nama pribadi maupun institusi. Jadi keputusannya untuk menikahi anak gadis
berumur 18 tahun secara sirih lalu dengan ringannya kemudian ia menceraikan
gadis tersebut melalui sebuah pesan singkat dari hape, membuat publik menjadi
berang.
Pemimpin adalah sumber inspirasi
|
Oleh karena itu benarlah apa yang disampaikan Greetz bahwa
secara general pemimpin itu dipersyaratkan memiliki kepadatan moral, karena
setiap pemimpin adalah examply center, pusat percontohan. Oleh karena itu
kepemimpinan yang tidak dapat mengaktualisasikan dengan tata nilai moral dan
etika yang secara umum diyakini dan hidup ditengah masyarakat sekitar, maka
jangankan menjadi suri tauladan, justru dia hanya akan menjema menjadi parasit
yang akan menggerogoti dan mengancam keberlangsungan pemerintahan, dan saat itu
erjadi siap-siap saja dilengserkan dari tampuk kekuasaan.
Etika kepemimpinan pemerintahan dapat kita maknai sebagai
implementasi kepemimpinan pemerintahan yang mempedomani nilai-nilai
pemerintahan, dalam konteks kepemimpinan nasional tentu saja nilai itu
terkristalisasi dalam Pancasila dan UUD 1945, dan dalam lingkup lokal, kearifan
budaya dan tata nilai masyarakat setempat juga harus terakomodir dan
teraktualisasikan dengan baik didalamnya.
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Greetz bahwa pemimpin
adalah examply center, pemimpin memegang peran sentral dalam menetukan arah,
corak dan dinamika yang terjadi dalam suatu organisasi. Sederhananya begini
kita dapat mengibaratkan pemerintahan yang merupakan institusi netral sebagai
gandum, ia berbentuk, nyata, tetapi masih netral tidak berasa, dan
pemimpin sebagai koki yang memiliki keleluasaan untuk dapat memberikan perasa
tambahan pahit ataupun manis, pemimpin secara terbuka berpeluang untuk berbuat
baik atau sebaliknya. Apabila pemerintah dikelola oleh pemimpin yang memegang
etika kepemimpinan pemerintahan, maka rakyat akan menerimanya sebagai rahmat
(Rasyid, 2001:422).
Pemimpin yang beretika tidak akan pernah punya niat untuk
menyingkirkan bakat – bakat hebat yang menjanjikan masadepan cerah. Dia akan
mengilhami semua orang dengan motivasi dan keteladanan untuk mampu mencapai
keunggulan, dan menstimulasi semua orang untuk berpikir positif dan bekerja
efektif. Dia tidak akan dengan gampangnya memutasi serta menonjobkan
pegawai berpotensi yang ada dibawahnya hanya karena dendam politik semata, atau
sekedar bagi-bagi kado kemengan Pilkada, memuaskan syahwat kekuasaannya saja.
Pemimpin beretika akan menjadi pemandu bakat dan potensi yang
andal bagi para bawahan. Dia seorang pemimpin yang mementingkan etika sebagai
landasan membangun sistem dan kultur kerja organisasi pemerintahan. Dia bukan
seorang yang menjadikan sistem dan kultur organisasi untuk kepentingan sempit
dirinya sendiri, atau sekedar memuaskan hasrat haus kekuasaannya semata, tetapi
dia seorang pemimpin yang berperan sebagai penunjuk jalan yang baik bagi semua
orang yang dipimpinnya.
Pemimpin pemerintahan dalam melaksanakan tugas, fungsi dan
dalam berperilaku, perlu memahami dan mengimplementasikan makna dari etika.
Pemahaman akan etika kepemimpinan pemerintahan merupakan landasan berpijak yang
penting dalam melaksanakan pola-pola kerja, baik yang bersifat hirakis formal
maupun yang non formal, sehingga terjalin kerjasama yang harmonis, yang
mengantarkan kepada semangat akan kesadaran untuk melaksanakan pengabdian
kepada bangsa dan negara dan tulus dan ikhlas.
Sebenarnya kita beruntung terlahir di Indonesia, negri dimana
kearifan timur dan filsfat barat bisa bersenyawa. Kita sebenarnya tidak perlu
kesulitan untuk menentukan bagaimana pedoman etika yang baik dalam memimpin,
toh kita bukan masyrakat yang miskin perdaban dan tata nilai sosial.
Mungkin masi terbayang dibenak kita peristiwa pelantikan
Bupati Mesuji yang dilakukan di Lembaga Kemasyarakatan oleh Gubernur Lampung
2012 silam, atau baru-baru ini Presiden kita memutuskan turun gunung merangkap
jabatan sebagai ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai-nya (Demokrat).
Dalam konteks hukum positif tentu saja kita tidak menemukan secarik ayat pun
yang secara tegas melarang hal itu terjadi, tetapi dalam konteks etika publik,
maupun etika pemerintahan apakah hal tersebut patut untuk dilakukan?
Memang etika bukanlah hukum positif, dan etika pun tidak perlu
diformalkan, akan tetapi alangkah arifnya kita sebagai bangsa untuk mau duduk
menghimpun kearifan etika dan nilai dari penjur tanah air untuk dapat kita
jadikan sebagai Code of Conduct dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga jelas
aturan mainnya, faham kita tolak ukurnya, jadi tidak perlu lagi gamang dan
meraba-raba.
Dengan sistem pemerintahan presidensil, dimana kekuasaan
eksekutif lebih dominan, bisa menjadi bahaya laten jika permasalahan etika ini
tidak kita selesaikan dengan baik, dimana kekuasaan legitimate yang dipegang
oleh pimpinan eksekutif dapat saja ia gunakan menjadi alat pemuas syahwat
kekuasaan dengan memanfaatkan celah-celah yang ada pada hukum positif kita.
Jika hal itu terus-terusan terjadi, maka sistem pemerintahan
sebagai suatu rangakian yang padu akan terhambat geraknya, bukankah kekuatan
suatu rantai teretak pada mata rantai yang paling lemah, jika sub-sub sitem
pemerintahan kita sudah kuat akan tetapi etika pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinan pemerintahannya bermasalah, maka cepat atau lambat rangakaian
rantai itu akan dan pasti terputus, terhambur, dan tidak berguna lagi jika
tidak segera diperbaiki. Kalau ini sudah terjadi kita semualah yang bakal
memikul akibatnya.